Advertisement

Responsive Advertisement

GENERASI SELFI MINIM AKSI

Dewasa ini maraknya peningkatan pemanfaatan Teknologi Informasi Informasi dan media fotografi maupun audio visual membuat masyarakat sangat dimanjakan dengan segala kesenangan menggunakan peralatan komunikasi android yang dilengkapi dengan fasilitas kemampuan mengambil objek foto maupun video dengan kualitas yang sangat bagus, bahkan terkadang bisa mengalahkan kualitas gambar atau video seorang profesional dibidang fotografi/audio visual. Diantara bentuk pemanfaatan teknologi tersebut yakni aktifitas memotret diri sendiri atau yang lebih akrab dengan sebutan “selfie”. Sejarah selfie menurut Ahmad (2013) selfie merupakan istilah untuk memotret diri sendiri. Berdasarkan info yang diperoleh dari BBC, selfie kemungkinan pertama kali dilakukan pada awal tahun 1880-an dengan menggunakan cermin atau self timer, namun kala itu selfie tidak melibatkan objek tunggal seperti sekarang ini, tetapi dalam kelompok besar seperti berfoto dengan teman atau keluarga. Dalam dunia modern, istilah selfie diperkenalkan pertama kali oleh seorang photografer bernama Jim Krause pada tahun 2005, sehingga kemudian menjadi genre baru dalam dunia fotografi. Budaya selfi dewasa ini sangat mewabah pada seluruh lapisan masyarakat dunia juga Indonesia. Kesenangan yang didapatkan generasi selfi seperti sekarang ini tidak melihat usia, dari usia muda sampai tua segala macam profesi dan status sosial tidak menghalangi seseorang untuk melakukan kebiasaannya ini. Pada umumnya mereka yang mempunyai hobby selfi mempunyai keinginan untuk membagikan kebahagiaannya terhadap segala pencapaian hidupnya, hoby dan segala hal yang membanggakan. Diantara bentuk kesenangan selfi tersebut misalnya seseorang akan sangat bangga berpose dengan wajah cantik maupun tampan, koleksi pribadi yang dimilikinya berupa rumah, kendaraan, pakaian, posisi jabatan, kecantikan, pasangan, kegiatan rekreasi, maupun anak-anak yang lucu maupun sukses, dan segala kesuksesan lainnya yang bisa dibanggakan kepada semua orang. Dengan membagikannya kepada orang lain agar menimbulkan efek rasa senang, bangga, puas bahkan merasa mempunyai kelebihan dari orang lain. Dominasi penggunaan gadget dan wadah media sosial yang tidak terbendung ini mengakibatkan aktifitas dalam dunia maya tidak kalah sibuk jika dibandingkan dengan kehidupan dunia nyata. Fasilitas media sosial yang menyediakan berbagai konten untuk setiap individu menjalin hubungan persahabatan antar satu sama lain. Bagi kalangan pebisnis peran media sosial sangat membantu untuk memasarkan produknya, sedangkan bagi para pesohor, keberadaan sosial media sangat mendukung untuk meningkatkan popularitasnya. Dalam sosial media juga tersedia konten-konten yang bisa dijadikan sumber belajar, ilmu pengetahuan maupun skill tertentu. Dari sedemikian banyak konten yang tersedia sangat disayangkan baru segelintir saja yang menggunakannya untuk kepentingan belajar. Remaja cenderung menggunakan sosial media untuk kegiatan kesenangan saja, narsis, mencari perhatian, sensasi. Bahkan ada yang sudah mempunyai ketergantungan dengan kebiasaan selfi ini tidak mampu lagi mengendalikan otak agar tetap waras dalam berpikir bahkan selfi sudah termasuk ke dalam kategori penyakit kelainan jiwa yang memerlukan penangan khusus. Mereka yang sudah menjadi korban dari penyimpangan penggunaan media sosial ini harus menjalani terapi khusus agar otak mampu berpikir normal kembali, sehingga tidak lagi memiliki ketergantungan untuk selalu memposting poto, video. Bahkan beberapa kejadian fatal sampai merenggut nyawa terjadi seperti dilansir media TV Swasta Nasioanal Trans 7 program On The Spot betapa banyak nyawa melayang sia-sia karena perbuatan ceroboh dan nekat menginginkan selfi pada tempat yang ekstrim seperti di kawah gunung, di pinggir jurang, sedang berkendaraan, termasuk juga selfi dari ketinggian yang semuanya dilakukan tanpa pengamanan, dan bermodalkan nekad. Hasilnya, seseorang yang terlalu gemar mengedit foto selfie-nya dan mengunggahnya ke medsos kemungkinan besar mengalami setidaknya satu dari tiga gangguan kejiwaan, yaitu; narsisme, psikopatik, dan objektifikasi diri. Ketiganya dikenal dengan istilah Dark Triad. Narsisme berarti perilaku egosentris yang terlalu ekstrim dan menganggap dirinya paling superior dibandingkan orang lain. Penderita penyakit kejiwaan ini memiliki kebutuhan kuat untuk dipuja-puja orang lain sebagai bentuk pengakuan diri. Psikopatik adalah penyakit psikologis yang ditandai dengan impulsivitas dan kurangnya empati terhadap orang lain. Sementara itu, objektifikasi diri adalah tendensi untuk memandang tubuh sendiri sebagai obyek yang bernilai atau berdaya tarik seksual tinggi. Dalam studinya, Fox dan Rooney menggunakan 1.000 responden antara usia 18-40 tahun. Mereka diminta menjawab pertanyaan seputar Dark Triad dan tendensi objektifikasi diri. Mereka ditanya berapa kali mengambil foto selfie dalam sehari. Mereka juga ditanya berapa banyak foto selfie yang diunggah ke media sosial dalam sepekan terakhir. Tidak hanya itu, mereka ditanya berapa banyak foto lain yang mereka unggah ke internet dan berapa lama mereka menghabiskan waktu di medsos setiap harinya. Pada hal jika didalami optimalisasi penggunaan sosial media dalam mempublikasikan hasil karya di bidang fotografi maupun sinematografi mampu membuat generasi lebih maju dari skill maupun wawasan karena begitu banyak konten yang menyediakan fasilitas untuk belajar maupun menguji nyali dengan skill seperti kemampuan mengolah foto, video, jasa editor maupun membuat akun bisnis yang mempunyai ketertarikan dibidang bisnis.

Posting Komentar

0 Komentar